Hukum Sholat Jum’at di dalam Gedung Instansi
Deskripsi Soal
Pada umumnya shalat Jumat dilakukan di Masjid Jami’ atau surau yang mayoritas jamaahnya merupakan penduduk sekitar. Namun, akhir-akhir ini banyak kita temukan di instansi sekolah formal, komplek perkantoran, dan Rumah sakit mendirikan shalat Jumat sendiri. Alasannya karena kegiatan sekolah yang begitu padat, efisiensi shift kerja karyawan, atau kebutuhan mendampingi pasien. Padahal kebanyakan siswa, karyawan dan pendamaping pasien tersebut bukan berasal dari penduduk setempat.
Pertanyaan
- Apakah sholat Jum'at tersebut dianggap sah jika jama'ah bukan warga mukim mustautin?
- Bagaimana hukumnya apabila sebagian jamaah dari daerah setempat (mustautin) namun imam dan khotibnya dari luar kota?
- Bagaimana sikap kita ketika sholat Jum'at itu dianggap tidak sah?
Jawaban :
Hukum mendirikan Jumatan di instansi sekolah, komplek perkantoran, dan pabrik yang mayoritas karyawan maupun pekerjanya bukan berasal dari penduduk setempat adalah tidak sah.
Sebab komplek perkantoran bukan tempat tinggal mereka, selain itu mereka datang ke situ hanya untuk bekerja.
Dalam fiqih, salah satu syarat keabsahan shalat Jumat ialah harus dilakukan di pemukiman yang jamaahnya merupakan penduduk tetap setempat (mustauthin). Argumentasi demikian dibangun oleh para ulama sebab berdasarkan pada tindakan (fi’lu) Nabi saw tatkala melaksanakan haji wada’ di Arafah bersama penduduk Makkah. Beliau tidak memerintahkan untuk mendirikan salat Jumat, hal ini disinyalir karena mereka bukan penduduk tetap Arafah. Ketetapan ini merujuk pada pendapat mayoritas ulama mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali.
ولا تصح الجمعة الا باربعين نفسا لِمَا رَوَى جَابِرٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ " مضت السنة أن في كل ثلاثة اماما وفى كل أربعين فما فوق ذلك جمعة وأضحى وفطرا " ومن شرط العدد أن يكونوا رجالا أحرارا مقيمين في الموضع فاما النساء والعبيد والمسافرون فلا تنعقد بهم الجمعة لانه لا تجب عليهم الجمعة فلا تنعقد بهم كالصبيان وهل تنعقد بمقيمين غير مستوطنين فِيهِ وَجْهَانِ قَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ تنعقد بهم لانه تلزمهم الجمعة فانعقدت بهم كالمستوطنين وقال أبو إسحق لا تنعقد لان النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " خَرَجَ إلَى عرفات ومعه أهل مكة وهم في ذلك الموضع مقيمون غير مستوطنين " فلو انعقدت بهم الجمعة لاقامها
Artinya :
Dan shalat Jumat tidak sah kecuali dengan empat puluh jiwa, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Jabir radhiyallahu anhu, ia berkata: "Sunnah telah berlalu bahwa pada setiap tiga orang ada seorang imam, dan pada setiap empat puluh orang atau lebih dari itu ada shalat Jumat, Idul Adha, dan Idul Fitri." Dan di antara syarat jumlah tersebut adalah bahwa mereka adalah laki-laki merdeka yang menetap di tempat itu. Adapun perempuan, budak, dan musafir, maka shalat Jumat tidak terlaksana dengan mereka karena shalat Jumat tidak wajib atas mereka, sehingga tidak terlaksana dengan mereka seperti halnya anak-anak kecil. Dan apakah shalat Jumat terlaksana dengan orang-orang yang menetap tetapi tidak bermukim di sana? Ada dua pendapat. Abu Ali bin Abu Hurairah berkata: Terlaksana dengan mereka karena shalat Jumat wajib atas mereka, sehingga terlaksana dengan mereka seperti halnya orang-orang yang bermukim. Dan Abu Ishaq berkata: Tidak terlaksana karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam "keluar ke Arafah bersama penduduk Mekah dan mereka pada tempat itu adalah orang-orang yang menetap tetapi tidak bermukim," maka seandainya shalat Jumat terlaksana dengan mereka, niscaya beliau melaksanakannya.
Berkenaan dengan kasus tersebut, Syaikhul Islam Syekh Zakariya Al-Anshari (wafat 926 H) dalam karyanya menjelaskan:
فَلَا تَنْعَقِدُ بِالْكُفَّارِ وَالنِّسَاءِ وَالْخُنَاثَى وَغَيْرِ الْمُكَلَّفِيْنَ وَمَنْ فِيْهِمْ رِقٌّ لِنَقْصِهِمْ وَلَا بِغَيْرِ الْمُتَوَطِّنِيْنَ كَمَنْ أَقَامَ عَلَى عَزْمِ عَوْدِهِ إِلَى بَلَدِهِ بَعْدَ مُدَّةٍ وَلَوْ طَوِيْلَةً كَالْمُتَفَقِّهَةِ وَالتِّجَارِ لِعَدَمِ التَّوَطُّنِ وَلَا بِالْمُتَوَطِّنِيْنَ خَارِجَ بَلَدِ الْجُمْعَةِ، وَإِنْ سَمِعُوْا النِّدَاءَ لِعَدَمِ الْإِقَامَةِ بِبَلَدِهَا
Artinya: “Maka shalat Jumat tidaklah sah dilakukan oleh non-muslim, wanita, waria, orang-orang yang tidak terbebani kewajiban atau seorang budak, sebab mereka tidak dianggap sempurna, ataupun juga dengan seseorang yang tidak berdomisili pada daerah dilaksanakannya salat Jum’at, … begitu pula orang yang berdomisili, akan tetapi domisilinya di luar batas daerah dilaksanakannya shalat Jumat.” (Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib fi Syarhi Raudhit Thalib [Beirut, Dar Al-Kutub Ilmiyah], Juz II, halaman 115-116).
Selaras dengan pernyataan yang diutarakan oleh Syaikhul Islam, pemuka mazhab Syafi’i Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami (wafat 974 H) mengafirmasi:
(مُسْتَوْطِنًا) بِمَحَلِّ إقَامَتِهَا فَلَا تَنْعَقِدُ بِمَنْ يَلْزَمُهُ حُضُورُهَا مِنْ غَيْرِ الْمُسْتَوْطِنِينَ لِأَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَمْ يُقِمْ الْجُمُعَةَ بِعَرَفَةَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ مَعَ عَزْمِهِ عَلَى الْإِقَامَةِ أَيَّامًا
Artinya: “Berdomisili di tempat mukimnya, maka tidak sah shalat Jumat bagi orang yang wajib menghadirinya dari kalangan orang-orang yang tidak berdomisili tetap, karena Rasulullah saw tidak mendirikan shalat Jumat di Arafah tatkala beliau melaksanakan haji wada’ beserta adanya tujuan bermukim di tempat tersebut selama beberapa hari.” (Ahmad bin Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Mesir: Maktabah At-Tijariyah Al-Kubra], Juz II, halaman 434).